Monday, May 4, 2009

Kebenaran Yang Terungkap

Dia baru saja dari kantin. Tak pernah sedikikt pun terbayang bahwa dirinya akan terlibat masalah besar, masalah yang akan merusak nama baiknya. Kini reputasinya sedang diuji, dia baru kelas tiga SMP di usianya yang ketiga belas tahun saat ini, tapi pikirannya jauh melampaui umurnya. Seperti biasa, melihat teman-temannya sedang serius membicarakan sesuatu, timbul kenakalannya. Dia tidak mau tahu apa yang sedang dibicarakan, yang penting ikut nimbrung dan mencuri dengar, untung kalau itu bermamfaat. Tapi, kini orang yang ingin di-usilin itu, ternyata malah membawa petaka baginya. Dia cuma tahu bahwa temannya sedang merencanakan sesuatu, dan itu menarik perhatiannya, apalagi dalam usianya yang seperti itu. Lebih tepatnya masa pencarian jati diri, masa puber yang mendorong darah panasnya bergejolak setiap kali melihat lawan jenis. Perasaan aneh pun muncul tanpa ia tahu apa namanya, dia hanya tahu bahwa dirinya merasa nyaman, gelisah dan sakit, yang membuatnya kadang ingin menangis, itu yang akhir-akhir ini ia rasakan. Maka mendengar rencana itu, membuatnya penasaran, ia simpan baik-baik dalam pikiran semua yang didengarnya tadi, terutama hari, tanggal dan tempat. Ia tahu pasti dimana letak tempat yang direncanakan itu, dan ia akan datang lebih awal dengan berpura-pura lewat di depan mereka, setidaknya itu akan menghilangkan kecurigaan mereka. Ini kesalahannya yang terbesar, yang nyaris mencoreng nama keluarga, masa depan dan mengancam keselamatannya.

Entah berapa kali ia melihat jam tangannya, ia mulai tidak sabar, pikirannya melayang jauh beberapa kilometer dari tubuhnya berada. Waktu terasa sangat lamban baginya. Pelajaran matematika yang sangat ia senangi, menjadi sangat membosankan. Biasanya dia yang paling bersemangat dalam kelas, dan paling awal menyelesaikan tugas, tapi kini rasa penasaran dan rasa ingin tahunya mengalahkan semua itu. Tinggal seperempat menit lagi, pikirnya dan itu cukup membuatnya mati penasaran. Ia mencari akal agar waktu dapat berlalu dengan cepat, tapi tidak tahu harus berbuat apa. Pena yang dipegangnya dari tadi ia corat-coretkan sesuka hati, hanya satu kata yang ia tulis: “cepat”. Ternyata ini membantunya, lima belas menit pun berlalu setelah dua lembar kertas di depannya penuh corat-coret tak beraturan. Ia bernafas lega saat bel pulang berdering.

*** *** ***

Benar seperti yang kuduga, aku terlambat. Seharusnya tadi aku tidak pulang dulu, agar melihat apa yang mereka lakukan. Aku yakin, mereka pasti masih di sekitar sini. Aku harus menemukan mereka.

Lima belas menit berlalu, Dani belum menemukan mereka, sementara dia sudah lelah, haus dan lapar. Tadi, dia tidak sempat makan siang di rumah, gara-gara terburu-buru ingin mengintip Si Ardi dan Jefri brengsek itu. Dia terpaksa kembali lagi ke pintu gerbang masuk, karena hanya di sana adanya kantin dan toko. Kebetulan sekali dia kenal akrab dengan anak pemilik toko itu. Waktu SD dia sekelas denganku, namanya Rahmat. Dani mendengar Rahmat sering membantu orang tuanya menjaga toko sehabis bersekolah. Karena rumahnya lumayan jauh dari SMPN 1, Rahmat memilih sekolah di SMPN Asri dekat rumahnya, paling banter satu kilometer jauhnya.

“Dani, tumben kesini,” sapa Rahmat.
“Iya, nih, ada something. Kamu bisa ikut aku, sebentar?”
“Bisa, emang mau kemana?” Rahmat balik bertanya.
“Ke pantai. Tadi kamu lihat dua orang pergi ke pantai itu, nggak?”
“Tadi emang ada beberapa orang lewat sini, tapi aku ggak tahu apa mereka orang yang kamu maksud. Emang ada apa, koq kamu mencari mereka?”
“Dua orang yang kumaksud itu teman sekolahku. Mereka punya niat nggak baik”
“Kemarin secara tidak sengaja aku mendengar rencana mereka. ayo cepat ! sebelum terlambat, kasihan cewek-cewek itu,” lanjutku
Kulihat wajah Rahmat memerah, jelas dia marah sekali. Kami berjalan menyusuri sepanjang pantai. Banyak jejak telapak kaki di sini, tapi kami tidak tahu telapak kaki siapa yang sedang kami ikuti. Jauh di depan sana, sekitar seratus meter, kami melihat enam orang laki-laki dan perempuan sedang berenang. Harapan kami berkobar kembali.

“semoga mereka yang kita cari,” Dani berkata pada Rahmat penuh harap.
“Mudah-mudahan aja benar,” ucap rahmat dengan wajah penuh harap. Kulihat dia sudah lelah, begitu juga denganku. Sudah dua puluh menit kami menyusuri pantai, memasuki seluk belukar dan pohon-pohon cemara. Tapi, mereka tidak ada di sana. Pantai ini sangat indah dan terbersih di propinsi Jatim. Di sekililingnya penuh pohon cemara, yang oleh penduduk sekitar, pohon tersebut dijadikan bisnis, yang dipesan oleh beberapa perusahaan furnitur di kota-kota besar di Indoensia. Pohon-pohon itu dirawat dengan baik sehingga menjadi hiasan taman dan halaman, orang-orang sini menyebutnya bonsai. Kegiatan penduduk di sini sehari-hari menyiram bonsai-bonsai mereka, memotong batang-batangnya sampai kelihatan menarik, lalu di bagian-bagian tertentu diberi kawat untuk membentuk dahannya.

Pantai ini adalah pantai kedua yang memiliki pohon cemara terbanyak di dunia setelah Australia. Pengunjungnya banyak sekali, tidak hanya orang-orang kebupaten tetangga saja yang datang, tapi juga dari luar pulau. Apalagi ketika hari raya ketupat, ratusan ribu orang pengunjungnya. Mereka yang dari luar kota biasanya tiga hari setelah Hari Raya Idul Fitri sudah mendirikan kemah di sini. Selain membawa segala macam peralatan kemping, mereka juga membawa sound system yang biasanya digunakan untuk orkestra. Suasananya sangat ramai, mereka berlomba-berlomba memutar musik sekencang-kencangnya. Karena pantai dan pohon cemaranya yang banyak itulah, jalan-jalan di sini diberi nama Jl.Cemara Udang.

Kuperhatikan satu per satu wajah keenam orang itu, tak satu pun yang kukenal. Semangatku melemah seperti lilin yang hampir mati. Kulihat Rahmat tak jauh beda keadaannya denganku. Dia nampak lelah sekali. Iseng dia bertanya pada lelaki di antara mereka yang kebetulan berenang di pinggir pantai. Dia pikir tidak ada salahnya bertanya, siapa tahu mereka tadi melihat orang yang kucari itu. Ternyata benar dugaanku, tadi mereka melihat cewek-cewek itu berjalan ke tengah pohon cemara di samping kami. Dia bernafas lega setelah mendengar jawaban itu. Tapi, Rahmat tidak hanya behenti di situ saja. Dia memastikan kembali apakah mereka juga melihat dua orang cowok yang kucari itu. Semoga saja mereka melihatnya, harapku dalam hati. Selesai sudah pencarian kami, tidak salah dia tadi bertanya pada mereka.

“Astaghfirullah,” ucapku lirih. aku terdiam kaku, juga Rahmat. Kami terlambat datang, peristiwa yang kami takutkan itu, telah terjadi. Wajah kami memerah melihat pemandangan di depan kami. Enam perempuan itu terbaring tanpa busana, kecuali satu orang saja yang masih berpakaian lengkap. Kami bingung harus berbuat apa, jangankan berteriak, bergerak saja kami lupa. Mata kami melotot seperti tidak mau berkedip melihat surga yang sangat indah, seakan kami tidak akan melihatnya lagi. Semenit kemudian kami sadar kembali. Rahmat langsung berlari ke arah laki-laki dan perempuan yang kami tanyai tadi untuk minta pertolongan. Setelah bayangan Rahmat menghilang di balik pohon, aku mengambil pakaian yang berserakan di antara tubuh-tubuh telanjang itu. Tapi, sebelum sempat kututupkan pada tubuh-tubuh itu, aku merasa ada orang yang membiusku dari belakang, lalu kesadaranku hilang dan aku pingsan. Saat aku sadar, aku sudah tidak melihat tubuh-tubuh itu, tiba-tiba aku telah berada di tokonya Rahmat, aku hanya melihat Rahmat di sampingku.

“Aku ada di mana, bagaimana keadaan gadis-gadis itu?” tanyaku lemas.
“Mereka telah pulang. Kasihan mereka menjadi korban kebiadaban cowok-cowok kurang ajar itu”
“Cewek-cewek itu sangat terpukul setelah tahu apa yang menimpa mereka” sambung Rahmat.

Rahmat melanjutkan, “Aku bingung, sebab setelah aku kembali lagi bersama orang-orang yang kuminta tolong tadi, kami mendapatimu dalam keadaan telanjang juga di antara gadis-gadis itu. Memangnya apa yang terjadi? Atau jangan-jangan kamu juga memperkosa mereka?”

Aku terlonjak kaget, aku tak pernah membayangkan sama sekali sebelumnya, kini aku telah menjadi korban fitnah .
“Innâ lillâh, aku telah menjadi korban fitnah mereka. Tidak mungkin aku sebejat itu. Justru aku ke sini untuk menolong mereka. Ya, aku ingat, tadi saat kamu pergi minta bantuan, aku memunguti pakain-pakain gadis itu, tiba-tiba ada orang yang membiusku dari belakang, setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi, aku pingsan,”. Wajahku merah padam, aku benar-benar marah.
“Syukur lah kalau begitu. Aku juga tidak yakin kamu tega melakukan hal itu. Melihatmu pingsan tanpa pakaian, aku bingung. Teman-teman yang kuminta tolong juga bingung. Tapi, akhirnya aku berhasil meyakinkan mereka kalau semua ini perbuatan dua orang yang mereka lihat sebelumnya. Pingsanmu itu yang menolongmu. Andai saja saat itu kamu tidak pingsan, pasti kamu telah di-gebukin oleh mereka. Allah memang selalu bersama orang-orang yang baik,”. Hatiku lega mendengar keterangan Rahmat. Allah telah menolongku. Aku langsung mengucap syukur padaNya.

Seminggu berlalu tanpa terjadi apa-apa. Sepertinya peristiwa itu hilang begitu saja tanpa bekas. Sedang aku masih tidak bisa melupakan kejadian itu. Aku tidak bisa memaafkan mereka, namun aku juga tidak bisa berbuat sesuatu, aku tidak punya bukti. Entah, bagaimana perasaan gadis-gadis itu, juga keluarganya, pasti sangat terpukul oleh musibah ini. Seandainya saja aku bisa mengulang waktu, yang pertama ingin kulakukan adalah menggagalkan rencana bejat itu. Sayang aku bukan Tuhan, aku hanya manusia biasa yang punya salah dan dosa, yang bisa aku lakukan hanya berusaha dan berdo’a saja. Mungkin ini yang disebut nasib, mau tidak mau aku harus ikhlas dan sabar menerimanya, karena Allah bersama mereka yang sabar. Di balik semua ini pasti ada hikmahnya, karena Allah hanya akan menguji umatnya sesuai batas kemampuan mereka.

*** *** ***

Kasihan sekali Dani, niatnya ingin menolong orang malah dia yang terlibat masalah besar, tidak hanya reputasi dan nama keluarganya yang nyaris tercoreng, tapi dirinya juga nyaris dijebloskan ke penjara. Dia benar-benar bingung tidak tahu harus berbuat apa, bahkan hampir gila memikirkan masalah itu. ini yang ia takutkan dan kini telah terjadi. Kabar tentang ternodanya lima gadis itu tersebar luas dan sekarang kasusnya sedang ditangani oleh polisi. Jefri dan Ardi tersangka utama, mereka sedang di interogasi polisi, dia tinggal menunggu giliran saja. Ternyata lima gadis itu dalam laporannya juga menyebutkan nama Dani selain Ardi dan Jefri. Karena dia pingsan dalam keadaan telanjang bulat ketika peristiwa itu terjadi, apalagi dia berada di antara korban-korban itu, sehingga membuatnya terseret masalah besar yang nyaris menghancurkan masa depan dan nama baik keluarganya.

“Ma, aku tidak melakukan perbuatan terkutuk itu,” ucap Dani sambil menyeka matanya yang berair. Mamanya juga menangis, mereka menangis berpelukan. Mamanya mengerti bahwa anaknya sangat terguncang oleh peristiwa ini. Nyaris ia tak percaya pada anak bungsunya ini karena saking kagetnya, begitu juga dengan Papanya. Tapi, setelah mendengar semua penuturan Anak bungsunya itu, Ibu Salamah dan Pak Saipul percaya sepenuhnya. Mereka tahu bagaimana anak bungsunya; kelakuan dan sifatnya. Jangankan melakukan perbuatan sebejat itu, melihat orang tertimpa musibah saja, Dani lah yang pertama menolong orang itu. Pernah anak gadis tetangga diganggu oleh anak-anak muda berandalan di persimpangan jalan di ujung pasar minggu, saat itu Dani baru pulang dari supermarket membelikan pesanan Mamanya, dalam perjalanan pulang itu, ia melihat seorang perempuan sedang diganngu anak-anak berandalan yang sering nongkrong di pinggir jalan dekat pasar. Tanpa berpikir lama, meskipun saat itu ia hanya sendirian sedang anak-anak berandalan itu bertiga, ia tidak takut. Nyaris ia kehilangan nyawa satu-satunya kalau tidak ada orang yang datang menolong, wajahnya babak belur, tangannya berdarah kena batu ketika ia jatuh, bajunya robek, ia sudah hampir pingsan di-gebukin, untung penolong itu datang tepat waktu dan akhirnya ia selamat meski selama tiga hari dirawat di rumah sakit. Sejak kejadian itu, tidak ada lagi anak-anak berandalan yang berani nongkrong di ujung pasar minggu, sebab masyarakat sekitar sangat marah pada mereka. Polisi juga turun tangan mengamankan tempat-tempat yang biasa dijadikan markas mereka nongkrong itu.

“Iya, nak...Mama percaya sepenuhnya pada kamu. Kamu harus sabar, ya! Mama yakin, kebenaran akan terungkap. Mama dan Papa akan membela kamu kalau perlu dengan nyawa Mama,” ucap Ibu Salamah di sela isaknya sambil mengelus kepala anak bungsunya itu. Mereka lama berpelukan, Dani kini sudah pasrah, dia yakin kebenaran akan terungkap. Dia tidak sendiri, ada Tuhan yang akan selalu melindunginya, ada Mama dan Papanya yang akan selalu ada di belakangnya, mendukungnya.
“Mama, memang Mama Dani yang terbaik di dunia ini. Dani sayang Mama,” Ibu Salamah semakin terharu mendengar kata-kata bungsunya. Ia semakin erat memeluk Dani. Kini Dani lah satu-satunya orang yang paling ia perhatikan setelah anak perempuannya yang sulung tinggal di rumah neneknya di kota, meneruskan kuliahnya di sana. Besok anak sulungnya, Zahra akan pulang ke rumah ini, Zahra sudah mendengar musibah yang manimpa keluarganya, terutama adik semata wayangnya itu. Kemarin Ibu Salamah menelponnya, memberi tahu musibah yang sedang menimpa keluarganya. Ibu Salamah berharap Zahra bisa menemani Dani dan menghiburnya. Karena sejak kecil Dani paling dekat dengan kakaknya, Zahra.

*** *** ***

Sidang sudah dimulai tiga puluh menit yang lalu, semua terdakwa berdiri ditempatnya masing-masing. Kini giliran Dani yang ditanyai, semua saksi sudah datang, Rahmat dan teman-teman Dani di SMPN 1 juga datang dan ini adalah sidang terakhir yang akan menentukan nasibnya ke depan. Dari sidang-sidang sebelumnya Dani terpojokkan, karena saat itu Rahmat tidak datang, dia mengunjungi keluarganya di luar kota. Dani tidak tahu lagi siapa yang akan menjadi saksi baginya selain Rahmat, enam orang yang diminta tolong oleh Rahmat waktu musibah ini terjadi tak satu pun yang dikenalnya. Hampir dia putus asa memikirkan nasibnya kalau tidak ada Mama dan kakak perempuannya itu yang selalu mendukung, menghibur, dan meyakinkannya bahwa kebenaran pasti terungkap. Ternyata, ketika dia pingsan dalam keadaan telanjang bulat itu Jefri dan Ardi memamfaatkannya. Mereka memfoto Dani bersama tubuh-tubuh korbannya, ini yang membuat posisi Dani terpojokkan. Kalau Rahmat sebagai saksi satu-satunya itu tidak datang, ia tidak tahu lagi nasibnya akan seperti apa, juga perasaan keluarga; Mama, Papa dan kakak perempuannya Zahra. Melihat kehadiran Rahmat ia bernafas lega, kupasrahkan semuanya pada-Mu ya Allah, berikan hamba yang terbaik dan yakinkan hamba bahwa kebenaran pasti terungkap, do’anya dalam hati.

Berakhir sudah semuanya, kebenaran telah terungkap, masa depannya terselamatkan. Ternyata penyebab suksesnya rencana bejat Ardi dan Jefri itu karena ada Tina yang membantu, dia adalah satu-satunya cewek yang ketika musibah itu terjadi masih dalam keadaan berpakaian. Sebelum musibah ini terjadi tanpa sepengetahuan teman-temannya diam-diam Tina mencampur obat bius di minuman mereka untuk menghilangkan kecurigaan teman-temannya itu, Tina pun ikut-ikutan meminum minuman itu dan dia juga ikutan pingsan. Semua ini terjadi karena Tina butuh uang banyak buat biaya rumah sakit Ibunya dan itu diketahui oleh Ardi dan Jefri, lalu mereka memamfaatkan keadaan ini untuk melaksanakan rencana mereka. Kemarin Tina mengaku semua itu di pengadilan, setelah kejadian yang sebenarnya terungkap oleh kesaksian Rahmat dan enam orang yang tidak dikenal oleh Dani, yang waktu musibah ini terjadi diminta tolong oleh Rahmat. Kini, Jefri dan Ardi telah dijebloskan ke penjara sedang Tina mendapat hukuman lebih ringan dari mereka, karena Tina hanya sebagai pihak yang dimamfaatkan oleh dua orang itu.

Setelah kejadian itu, Dani pun lebih bijak menatap hidup, pengalaman telah mengajarkannya banyak hal yang tidak didapat di sekolah. Ia telah melewati peristiwa luar biasa dalam hidupnya yang tidak semua orang mengalaminya. Ia sudah tahu bagaimana menghargai hidup ini. Tidak hanya itu, ia benar-benar beruntung punya Mama yang selalu percaya dan selalu ada untuknya, kakaknya Zahra yang slalu menghibur dan menghidupkan keyakinannya dan Papa yang selalu membelanya dan mengajarkan ketegaran padanya serta teman yang membelanya, membantunya terbebas dari fitnah itu. Syukur padaMu, ya Allah! Engkau telah mengembalikan keyakinanku akan kuasaMu setelah hampir redup oleh keputusasaan, ucap Dani di sela-sela doa’anya.



Madrasah 26 maret 2009

Cinta Yang Ternoda

Perempuan itu masih belum yakin dengan apa yang di bacanya. Betapa mungkin hal ini terjadi, setahu dia selama ini hubungannya dengan Jodi biasa saja. Sudah tiga tahun ia mengenal Jodi, tapi tidak sekalipun melihat Jodi memperhatikannya. Tapi, surat itu yang ia terima tiga hari lalu dari Jodi, sungguh mengejutkan sekali. Dalam surat itu sudah jelas maksudnya bahwa Jodi suka padanya. Meskipun tidak dinyatakan secara langsung, tapi ia yakin bahwa Jodi mencintainya. Masak hanya untuk berteman saja, Jodi harus memberinya surat seperti itu. Dia bingung harus menulis apa untuk membalas surat Jodi. Biarlah besok aku akan menemuinya, pikirnya.

Seminggu berlalu ia masih larut dalam kebimbangan, tentu saja sebagai seorang perempuan tidak mungkin baginya menyatakan cinta duluan pada seorang lelaki. Tapi, keadaan memaksanya, akhirnya ia menyerah. Besoknya perempuan itu benar-benar menemui Jodi. Lega hatinya, Jodi memang mencintainya, kini ia tidak lagi merasa kesepian. Sang pangeran telah datang membawa sejuta impian untuknya, bunga-bunga cinta di hatinya, kini tumbuh bersemi.

Hari demi hari mereka lalui bersama. Tak peduli mau ada hujan atau badai, yang penting dapat bersama. Panah-panah asmara telah merubah semua yang ada di sekelilingnya menjadi tiada, kebahagian membuatnya lupa, ia terlalu percaya pada pengerannya itu sehingga tidak sempat membedakan cinta yang benar dan yang palsu. Sampai akhirnya kenyataan menyadarkannya bahwa Jodi juga manusia biasa.

Tidak ada sesuatu paling menyakitkan baginya kecuali apa yang sekarang di hadapinya. Rasanya baru kemarin ia merasakan kebahagian itu. Sungguh sulit dipercaya bahwa lelaki yang selama ini dijadikan sandaran hati, dirindu dan impikan, ternyata telah membohonginya. Selama ini tidak pernah sedikit pun terbayang kalau seseorang yang sangat dicintainya itu sebenarnya tidak pernah mencintai dirinya. Ia tatap potret dirinya bersama lelaki itu di atas meja belajarnya. Tiba-tiba tanganya sudah bergerak meraih potret itu, namun urung membantingnya. Gumpalan-gumpalan benci semakin membesar. Lalu ia pun tersungkur begitu saja di sudut kamar. Lelaki. Apa mereka semua sama?

Perlahan ia raih lagi ponsel Jodi yang tadi tertinggal di rumahnya. Nyeri sekali. laki-laki yang entah siapa hanya berinisial A, menyapanya “selamat, kamu telah berhasil mendaptkan perempuan itu. kamu menang” Beberapa saat lalu ia hanya cengengesan membacanya. Mungkin teman yang iseng. Tapi ia terhenyak dan tiba-tiba merasa terbanting. Pada bagian sent, ia melihat balasan sms pujaan hatinya itu! Kata-kata “Makasih, seminggu lagi aku tagih janjimu.” Airmatanya semakin berderai-derai dan beliung-beliung dari berbagai penjuru menikam batinnya.

Setahun bukan waktu yang sedikit untuk mengenal pujaan hatinya itu, tapi ternyata ia telah salah menilai. Selama ini ia terlalu larut dalam kebahagiaan sehingga tidak dapat melihat semua ini. Dunia seperti kiamat baginya, matanya sudah sembab dan bengkak, tapi ia tidak peduli, hatinya terlalu sakit menerima kenyataan. Dia tidak tahu bagaimana akan menghadapi hari selanjutnya, ia merasa hidupnya telah hancur.

*** *** ***

“Apa artinya semua ini?” tanya Sandra pada jodi sambil memperlihatkan sms itu. Ia mencoba untuk tidak menangis, ia tahan air matanya sekuat mungkin. Ia butuh kepastian dari Jodi, butuh penjelasan, dan ia berharap apa yang dibacanya kemarin itu bukan seperti yang dibayangkannya.

Jodi hanya diam tanpa ekspresi, matanya menerawang jauh, ia sadar dirinya bersalah, tak pernah sedikit pun terlintas di pikirannya bahwa apa yang dilakukannya itu, kini telah menghancurkan harapan perempuan yang berada di depannya.

Dengan bercanda akhirnya Jodi menjawab juga “Sms yang mana sayang, pasti kamu salah baca. Udah, nggak usah pikirin sms nggak penting itu. mendingan kita makan aja yuk, lapar ,”

Perempuan itu masih berdiri tak bergeming, ia menangkap gelagat kebohongan di mata Jodi. Sembilu semakin menggiris hatinya. Lalu ia melanjutkan,

“Selama ini aku tidak pernah meminta sesuatu padamu, tapi sekarang, tolong jawab dengan jujur apa artinya semua ini?” ucap sandra sambil memperlihatkan sms orang yang berinisial A itu.

Lama jodi terdiam kaku, tak disangkanya bahwa sandra telah membaca sms itu.

“Maafkan aku sayang, aku telah bersalah, selama ini aku telah membohongimu,” Jodi tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Wajahnya tertunduk penuh sesal. Tapi, ia sudah bertekad akan menjelaskan semuanya.

“Pada awalnya aku memang tidak mencintaimu bahkan aku sempat menjadikanmu taruhan. Namun, setelah aku mengenalmu lebih jauh, aku mulai jatuh cinta padamu. Aku tahu telah bersalah dan mungkin aku tak pantas menerima maafmu. Sekarang terserah padamu, aku siap menerima hukuman sepahit apapun,” sambung jodi.

Lengkap sudah penderitaan perempuan itu, air mata yang ditahannya dari tadi, kini tumpah bagai air yang lepas dari bendungannya. Sembilu memahatkan lagi nanah di batinnya. hampir ia pingsan menahan luka yang masih mengangah itu.

“Aku juga manusia bukan boneka yang boleh kamu permainkan perasaannya sesuka hatimu. Aku punya perasaan dan aku juga punya hati. Puas kamu sekarang telah menghancurkan hidupku,” perempuan itu berhenti sebentar. Isaknya semakin menjadi. Lalu ia melanjutkan,

“Apa kamu pikir aku ini barang, sampai kamu tega menjadikanku taruhan. Ternyata selama ini aku telah salah menilaimu,”

“Tolong maafkan aku. Hukumlah aku sesuka hatimu, kalau perlu bunuh sekalian. Asal dengan itu bisa menghapus salahku padamu. Sekarang aku tidak akan bilang bahwa aku telah jatuh cinta padamu karena kamu tidak akan percaya itu. ini permintaanku yang terakhir, tolong beri aku kesempatan menebus semua salahku padamu,”

“Kecuali kamu mau melihat mayatku besok di depan rumahmu,” sambung Jodi.

Perempuan itu masih terisak. Pipinya telah basah air mata. Betapa perihnya perempuan itu menggigit bibirnya yang tiba-tiba asin darah. Sulit baginya menerima kenyataan pahit ini. Namun itu telah terjadi.

Malam semakin larut dan dingin. Perempuan itu mengigil menyadari apa yang terjadi. Kini tangisnya mulai redah. Ia mulai dapat mengendalikan emosinya. Ia berpikir kembali, tidak mungkin baginya membiarkan Jodi membunuh dirinya sendiri. Tapi, juga tidak mungkin baginya memberi kesempatan sekali lagi pada Jodi. Hatinya terlalu sakit menerima kenyataan ini. semakin diingat masalah itu semakin sakit pula ia menahan nyeri, lagi-lagi ia merasakan asin darah di bibir bawahnya. Lalu ia pun tersungkur begitu saja, untung Jodi refleks menangkapnya sehingga ia tidak jatuh ke kolam yang ada di depannya.

Sekali lagi, Jodi mengulang kata maafnya “Tolong maafkan aku. Beri aku kesempatan satu kali lagi, akan kubuktikan bahwa aku sangat mencintaimu,”

Hening. Perempuan itu diam, pikirannya sedang mempertimbangkan kata-kata Jodi tadi. Sebenci apa pun ia pada Jodi, tak dapat dipungkiri bahwa sampai saat ini pun ia sangat mencintanya. Meskipun rasa nyeri dan sakit di hatinya masih belum sembuh, namun dalam kata-kata Jodi kali ini ia menemukan aura ketulusan yang sebelumnya tidak ia lihat. Terlalu berat baginya mengambil sebuah keputusan. Kini dia dihadapkan pada buah simalakama. Menolak maaf Jodi, itu berarti ia akan menemukan Jodi terbaring tanpa nyawa di depan rumahnya. Entah kenapa ia percaya bahwa ancaman Jodi bukan gertak sambal belaka dan ia tidak ingin itu terjadi. Menerima maafnya itu malah akan menguak luka yang masih menganga di hatinya. Ia bingung, tak tahu harus memilih yang mana.

Bulan semakin lelah, beberapa jam lagi ia akan terusir oleh pagi. Ia sadar itu, beberapa kali ia menghela nafas panjang, seakan ingin mengusir luka di hatinya. Ia pejamkan mata, ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa keputusannya kali ini adalah yang terbaik buat semuanya. Dengan mata yang masih sembab itu, ia mencoba membendung air matanya dan menyembunyikan isaknya. Ia metatap lama wajah lelaki di sampingnya hanya untuk meyakinkannya bahwa keputusannya itu tidak salah, ia jelajahi wajahnya mencoba mencari dusta disna. Tapi, kali ini ia tidak menemukannya, yang ia lihat hanya aura penyesalan dan ketulusan saja.

Kaku sekali ia beringsut menyandarkan wajahnya pada pundak lelaki disampingnya. Ia merasakan letupan sesal disana “Aku memaafkanmu,” ucapnya lirih.



Madrasah, 28 maret 2009