Thursday, September 10, 2009

Takbir Cinta

Sifat kemanusiaan memaksaku kembali merinduinya. Entah sudah berapa kota kuseberangi. Namun, tetap saja aku tak mampu melupakannya. Dulu, saat aku memutuskan melanjutkan studiku di luar kota, aku pikir aku akan dapat melupakannya seiring berjalannya waktu. Banyak sudah pengembaraan kutempuh. Dari tipe cewek paling modern sampai yang berkerudung rapat. Aku tidak peduli bagaimana perasaan mereka saat kuputuskan. Bagiku yang terpenting adalah bagaimana dapat melupakannya.

Hari ini aku mendaftar sebagai remaja masjid. Masjid itu dekat dengan rumah kontrakanku. Aku berharap dengan jalan ini aku akan dapat melupakannya. Hampir tiap waktu kuisi dengan baca Al-qur’an, pergi ke perpustakaan, selebihnya kalau tidak kuliah, aku selalu menyibukkan diri aktif di berbagai kajian. Salah satunya; ya di masjid Nurus Syafa’ah ini. Di sini, aku mendapatkan banyak hal terutama tentang agama.

Tiga bulan berlalu. Aku merasa telah menemukan dunia baruku. Aku bisa lebih konsentrasi pada kuliah dan tugas-tugasku. Malam ini aku ingin bermalam di masjid ini. Menikmati indahnya malam dalam sujud panjangku. Tak terasa pipiku basah. Baru kali ini aku meneteskan air mata setelah sekian tahun lamanya. Malam ini aku merasa lega, dadaku lapang.

Setelah shalat aku langsung menuju taman di mana anak-anak remaja masjid berkumpul. Di antara kami anak remaja masjid hanya aku dan wahyu yang kuliah, sedang yang lain masih SMA. Hanya tiga orang yang bukan penduduk kota ini. Aku, Wahyu dan Zainal. Wahyu dari bandung, Zainal dari kalimantan dan aku sendiri dari Jatim. Kami seperti saudara di sini. Semua pengurus remaja masjid ada delapan. Sedang yang tinggal di masjid ini hanya lima orang. Sisanya tinggal di rumah masing-masing. Aku di kontrakanku, Firda dan Rozi di rumahnya sendiri karena dekat dengan masjid. Jaraknya hanya 300 m. Sedang Wahyu, Reza, Zainal, Mahbub dan Sofyan tinggal di masjid ini.

Di pondok yang mungil inilah kami biasa berkumpul setelah pengajian selesai. Biasanya dalam pengajian-pengajian itu kami menghadirkan ustadz dari luar atau teman-teman kampus yang mengerti banyak tentang agama. Terkadang kami juga mengundang aktivis dakwah dari kampus dan kota-kota lain. Tema yang kami angkat dalam setiap pertemuan selalu renyah dan menarik. Misalnya; di antaranya: Indahnya pernikahan dini dan peran perempuan dalam Islam. Alhamdulillah jama’ah pengajian kami setiap minggu bertambah banyak. Hampir semua anggota pengajian terdiri dari pelajar dan mahasiswa. Pengajian ini bentuknya seperti forum di acara kampus atau sekolahan. Disini juga ada sesi Tanya jawab.

*** *** ***

Pada suatu hari aku dipanggil oleh Pak Ridwan. Beliau adalah salah satu donatur masjid ini. seperti biasa aku langsung memasuki pekarangan rumahnya yang luas. Di sisi kiri ada sungai buatan yang mengelilingi taman. Pot-pot kayu anggrek mahal Tainia shimadai dan Chysis digantungkan berderet-deret di jembatan itu. Dan di bawahnya tersusun rapi bejana keramik antik bertangga-tangga berisi kaktus Chaemasereas dan Parodia scopa. Sedang di tengah taman ada bangunan kecil semacam pondok yang berhiaskan bunga-bunga: anggrek, mawar dan melati. Merupakan tempat strategis buat berteduh untuk menghilangkan penat dan lelah sepulang kantor. Atau untuk menghilangkan bosan ketika sendiri. Taman ini sangat indah dan anggun. Apalagi di saat bulan purnama. Seperti ada peri-peri cantik yang bermain-main sambil bernyanyi-nyanyi. Betapa indahnya pemandangan itu. Aku sangat mengaguminya sampai tidak menyadari kalau Pak Ridwan sudah sejak tadi berdiri di sampingku.

“Maaf Pak. Dari asyiknya menikmati pemandangan taman itu sampai tidak tahu kedatangan Pak Ridwan,” ada rasa tidak enak menyusup hatiku. Inilah penyakitku kalau melihat pemandangan bagus sampai tidak tahu ada orang datang.
“Tidak apa-apa Nak Rizki. Taman itu memang indah. Kalau sedang bosan, penat atau lelah sepulang dari kantor, saya dan istri sering duduk di pondok itu. Putri saya yang mendesign semua ini. Dia sangat menyukai bunga, pemandangan dan keindahan-keindahan lainnya. Sampai suatu hari dia punya ide membuat taman indah ini,” ada rasa bangga dalam ucapannya. Namun, tidak ada kesan menyombongkan diri. Lalu beliau melanjutkan,
“Taman itu dibuat enam tahun lalu ketika putri saya berumur enam belas tahun. Dia sedang mondok di Jawa. Sekaligus kuliah. Sekarang sudah semester akhir. Di rumah yang besar ini, saya tinggal berlima. Saya, istri saya, Arif anak kami yang kedua, pembantu dan sopir. Putri kami itu sejak mondok jarang sekali pulang ke rumah ini. Paling-paling waktu libur selama seminggu. Apalagi setahun terakhir ini. Dia sibuk membantu mengajar di pesantren dan menyelesaikan skripsinya,” Pak Ridwan mengakhiri ceritanya lalu mempersilahkanku masuk. Aku duduk di ruang tamu. Kemudian pembantu datang membawa juice jeruk.

“Silahkan diminum Nak,” seru Pak Ridwan
“Bagaimana kabar keluargamu, sehat-sehat saja kan?,” tanyanya datar.
”Alhamdulillah semua keluarga di Jawa sehat wal afiat,” jawabku singkat.
“Bagaimana dengan pengajian di masjid, masih seperti dulu? Saya sudah lama tidak ikut pengajian itu. Saya terlalu sibuk, banyak kerjaan di kantor,”
“Alhamdulillah pengajian tetap berjalan baik. Bahkan sekarang anggotanya bertambah banyak. Karena kebanyakan anggota baru itu adalah pelajar dan mahasiswa(i). Pengajian itu menjadi ramai. Banyak anggota yang bertanya dan berpendapat,” jawabku penuh semangat.
“Baguslah kalau begitu. Itu berarti kalian sebagai pengurus masjid berhasil membaca situasi dan menarik minat masyarakat. Terlebih anak-anak mudanya. Kalau tidak salah, Nak Rizki kemarin sudah munaqasah skripsi. Apa kira-kira rencananya sekarang. Ada rencana menikah tidak, atau langsung nerusin program pasca sarjana?,”
“Soal menikah masih belum saya pikirkan Pak. Rencanya saya mau ngelanjutin S2 dulu, baru menikah. Kalau sekarang, saya tidak punya calon dan masih belum siap. Karena menikah tidak semudah yang kebanyakan orang pikirkan. Saya merasa masih bodoh dan banyak dosa untuk menjadi imam keluarga,” aku memang tidak pernah memikirkan hal ini. Aku masih ingin menikmati hidup ini sendiri. Tidak mudah bagiku melupakan Nadya begitu saja. Dulu, aku terpaksa meninggalkannya karena tuntutan keluarga. Meskipun hubunganku dengannya tidak selayaknya orang pacaran, tapi sebagai seorang sahabat. Aku tidak pernah mengungkapkan perasaanku begitu juga dengannya. Namun, kami sama-sama mengerti bahwa perasaan kami sama.

“Nak Rizki, kalau seandainya sekarang calon itu ada, apa Nak Rizki mau menikah?,” aku merasa seperti penjahat yang sedang diintrogasi oleh pengacara.
“Kalau sekiranya Allah meridhainya. Tapi, untuk itu saya harus shalat istikharah dulu,” hanya itu kata yang dapat saya ucapkan. Aku tidak dapat mecari alasan lagi. Karena memang kenyataannya begitu.
“Kalau begitu, saya punya seorang calon buat Nak Rizki. Insyallah shaleha dan cantik. Namanya Nadya Shinta Dewi,” jantungku berdegup kencang mendengar awal nama itu. Tapi, aku pikir tidak mungkin dia. Walau sebenarnya hati ini sangat berharap.
“Kenapa nak, apa Nak Rizki sudah mengenalnya?”
“Ti..tidak Pak. Saya tidak mengenalnya. Hanya tidak menyangka saja kalau hari ini, tiba-tiba saja mendengar ada seorang calon buat saya. Padahal, selama ini saya tidak pernah memikirkan soal nikah. Dan sekarang Allah mendatangkannya melalui bapak,” ada rasa haru dan bahagia. Aku merasa seperti dalam mimpi saja.
“Insyallah nanti sore orangnya akan datang. Nanti saya akan pertemukan kalian untuk melakukan ta’aruf. Dia bukan lain adalah orang yang mendesign taman indah yang kamu kagumi itu. Saya sudah membicarakan hal ini padanya. Dan dia memasrahkan semuanya pada saya.” Lalu aku mohon pamit pada Pak Ridwan karena dzuhur tinggal 15 menit lagi. Masih ada waktu untuk sampai di masjid Nurus Syafa’ah. Aku ingin cepat-cepat sampai di sana. Aku ingin melakukan sujud syukur atas karunia ini. Aku ingin segera memberitahu kabar bahagia ini pada keluargaku di Jawa dan teman-teman pengurus masjid. Tapi, terpaksa aku harus menyimpan kabar bahagia ini untuk sementara waktu. Karena aku harus melakukan shalat istikharah dulu. Kalau nanti hasilnya baik, baru aku mau mengabarkan kabar bahagia ini.

Sudah dua hari aku melakukan shalat istikharah dan hasilnya sama seperti shalat sebelumnya. Dalam mimpiku, aku bermimpi membaca surat Al-Rum ayat 21 yang artinya “Dan di antara tanda(kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram padanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” Sekarang sudah bulat keputusanku. Aku akan menerima tawaran itu. Aku yakin sekarang sudah waktunya bagiku untuk menikah. Aku akan memberitahukan kabar baik ini pada Pak Ridwan. Nanti siang setelah shalat dzuhur aku akan menemui Pak Ridwan.

Tadi aku telah mengabarkan kabar baik itu pada keluargaku di Jawa. Mereka menyetujui keputusanku untuk menerima tawaran itu. Juga pada teman-temanku di masjid Nurus Syafa’ah ini. Meskipun aku sendiri tidak tahu seperti apa calonku itu. Tapi, aku yakin dia shaleha dan cantik. Aku sudah tidak sabar ingin cepat-cepat sampai di rumah Pak Ridwan. Hari ini, aku akan melakukan ta’aruf dengannya. Tadi sebelum shalat dzuhur aku telah menelpon Pak Ridwan. Sekarang tentu keluarga Pak Ridwan telah berkumpul di sana. Memang benar peribahasa yang mengatakan bahwa jodoh tidak akan ketukar. Dia akan datang sendiri. Sekuat apa pun kita berusaha kalau belum waktunya, maka tidak akan dapat. Namun, bukan berarti hanya diam-tidak berusaha. Dan hal ini sudah jelas dalam Al-qur’an surat Ar-Ra’d ayat 11 bahwa “...sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri...”

Rumah Pak Ridwan. Tepat seperti yang kujanjikan, aku datang tepat waktu. Mereka telah berkumpul; Pak Ridwan dan istrinya. Sesekali aku mengerling ke semua tempat. aku mencari sosok yang sangat kunantikan itu. Yang kubayangkan seperti bidadari. Namun, aku tidak dapat menemukannya. Aku mencoba menyabarkan hatiku. Tapi, rasa penasaran dan keingintahuanku malah membuatku tidak tenang. Aku paksakan diriku untuk tersenyum semanis mungkin. Aku tidak ingin mereka melihatku seperti ini.

“Bagaimana Nak Rizki, apakah sudah kamu pikirkan matang-matang tawaran itu,” Pak Ridwan memulai pembicaraan.
“Iya, Pak. Sudah. Saya sudah melakukan shalat istikharah berkali-kali. Dan hasilnya tetap sama. Dalam mimpi, saya bermimpi membaca surat Ar-Rum. Dan jawaban saya adalah saya menerima tawaran itu.”
“Alhamdulillah. Saya bersyukur sekali, Nak Ridwan mau menerima tawaran itu. Kalau begitu, sekarang saya akan pertemukan Nak Rizki dengan Nadya untuk melakukan ta’aruf,” Pak Ridwan kelihatan sangat bahagia sekali. Lalu beliu memanggil putrinya. Jantungku berdegup kencang. Inilah saat paling menegangkan bagiku. Sosok yang sangat kunantikan akan muncul. Aku tak kuasa mengangkat wajahku. Meskipun dalam hati ingin rasanya aku berlari menjemputnya ke lantai atas. Ingin kutuntun tangannya yang lembut itu menuruni tangga. Takut kalau ia akan jatuh. tapi, jangankan berlari menjemputnya, untuk berdiri saja aku tak mampu. Aku merasa tubuh ini bukan lagi milikku. Hanya hatiku yang masih kurasa milikku seutuhnya. Ada kekuatan aneh menguasaiku. Ada getar yang selama ini mulai meredup terang kembali. Aku merasa getar itu semakin kuat seakan dibawa oleh sosok ramping yang kini duduk di depanku. Aku seperti telah lama mengenalnya. Bukan kemarin atau seminggu yang lalu, tapi bertahun-tahun. Tiba-tiba, kekuatan yang menguasaiku itu hilang. Sekarang aku merasa jiwaku nyaman, pikiranku tenang, jantungku normal kembali. Kuangkat perlahan-lahan wajahku. Dengan membaca basmalah aku luruskan pandangan.

”Assalamu’alaikum,” inilah suara yang selama ini kunantikan. Yang telah membuatku menyebrangi berbagai kota hingga akhirnya aku sampai di sini. Aku masih tidak yakin dengan apa yang kulihat. Kujelajahi wajahnya, takut salah orang. Tapi, mata itu, bibir itu, hidung itu dan senyum itu tidak mungkin dapat kulupakan. Tidak salah lagi. Pasti dialah yang selama ini kuimpi dan kurindukan.
“Wa’alaikum salam,” tak kuasa kubendung air mataku. Begitu juga dengannya. Tanpa sadar kami saling bertatapan. Kini kata-kata tidak kami butuhkan lagi untuk menumpahkan rasa rindu dah haru. Seakan cukup dengan bahasa mata kami. Semua seperti berhenti. Dunia seperti hanya milik kami saja. Sampai akhirnya,
“Ehmm...” Kami baru sadar bahwa di ruangan ini tidak hanya ada kami saja. Tapi, juga ada orang lain.
“Rupanya kalian sudah saling kenal. Berarti tidak perlu melakukan ta’aruf lagi. Kalau begitu kami ke atas dulu,” Pamit Pak Ridwan dan Bu Ridwan.
“Aku sama sekali tidak menyangka kalau itu kamu. Aku pikir kita tidak akan bertemu lagi setelah sekian lamanya aku meninggalkan tempat kelahiranku. Bahkan aku pikir kamu sudah berkeluarga. Tapi, siapa duga ternyata Allah mempertemukan kita lagi untuk menyempurnakan separuh agama kita. Sekarang aku benar-benar bahagia dan bersyukur karena Allah mendengar do’a-do’aku.” Saat ini aku merasa, akulah orang yang paling beruntung di dunia ini.
“Iya, sama. Aku juga berpikir bahwa kita tidak akan bertemu lagi. Apalagi ketika ayah menawariku seorang lelaki yang kata ayah dia adalah mahasiswa jurusan hukum, orangnya shaleh dan pintar. Lalu aku shalat istikharah dan hasilnya baik. Maka, aku memasrahkan semuanya pada ayah. Siapa duga lelaki itu adalah kamu. Aku benar-benar bahagia dan bersyukur sekali. Ternyata perasaanku sama kamu tidak salah. Aku telah memilih lelaki yang tepat tempat melabuhkan cinta dan rinduku. Dan sekarang lelaki itu akan menjadi imamku mengarungi bahtera hidup ini.” Matanya berkaca-kaca begitu juga denganku. Rasa haru dan bahagia menyusup ke hati kami. Ada kekuatan aneh yang menguak tabir rindu yang selama ini mengakar jauh di dasar hati.

Tibalah hari terindah yang paling dinanti-nantikan semua orang di dunia ini. Dimana awal kehidupan baru dimulai. Dan itu, kini kami yang menjalaninya. Kami telah mengikat janji dan mengucapkan sumpah. Hari ini semua seperti baru diciptakan. Semua orang seperti tidak punya beban. Semua tertawa riang dan tersenyum. Wajah mereka berseri-seri. Inilah dunia baru kami. Dan sebentar lagi kami akan membuka tabir rahasia itu bersama. Meneguk madu-madu cinta, menumpahkan semua rindu, dan bertakbir bersama menikmati ciptaan-Nya.



madrasah 2009